Wacana Relokasi 2 Juta Warga Gaza ke Indonesia, Pakar Timur Tengah UB : “Tidak Realistis dan Berpotensi Menghapus Memori Sejarah Palestina”

Pakar Timur Tengah dari Universitas Brawijaya (UB), Yusli Effendi, S.IP., M.A., (Foto : Ist)
Pakar Timur Tengah dari Universitas Brawijaya (UB), Yusli Effendi, S.IP., M.A., (Foto : Ist)
banner 468x60

Malang, ADADIMALANG.COM – Wacana relokasi dua juta warga Gaza ke Indonesia sebagai bagian dari upaya rekonstruksi pascakonflik dengan Israel menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Isu ini pertama kali mencuat dalam laporan NBC News, media berbasis di Amerika Serikat, pada Minggu (19/1/2025), hanya dua hari sebelum pelantikan Presiden AS Donald Trump.

Dalam laporan tersebut, utusan Timur Tengah Trump, Steve Witkoff mengungkapkan bahwa pemindahan warga Gaza ke Indonesia dianggap sebagai solusi sementara selama masa gencatan senjata dengan Israel.

Bacaan Lainnya

Menanggapi hal ini, pakar Timur Tengah dari Universitas Brawijaya (UB), Yusli Effendi, S.IP., M.A., memberikan analisis kritis. Menurutnya, wacana tersebut perlu disikapi dengan sangat hati-hati karena membawa konsekuensi besar dalam berbagai aspek, termasuk politik, sosial, dan ekonomi.

“Testing the Water” oleh Amerika Serikat

Yusli menyoroti bahwa wacana relokasi ini bukanlah pernyataan resmi yang berasal dari jalur diplomasi antarnegara. Ia melihat hal ini lebih sebagai strategi Amerika Serikat untuk mengukur respons internasional sebelum mengambil langkah lebih lanjut.

“Perlu dipahami bahwa ini bukan pernyataan yang muncul dari kanal diplomasi resmi, meskipun dilontarkan oleh utusan Timur Tengah Trump. Dengan demikian, wajar jika Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan tidak menerima informasi resmi dari pemerintah AS terkait hal ini,” ujar Yusli.

Ia juga menambahkan bahwa gagasan ini sebaiknya tidak direspons secara berlebihan mengingat skenario tersebut sangat tidak realistis. “Menurut saya, ini tidak lebih dari sekadar strategi untuk melihat bagaimana reaksi publik internasional. Dalam dunia diplomasi, ini dikenal sebagai ‘testing the water’. Amerika Serikat ingin mengukur bagaimana sikap Indonesia dan negara-negara lain terhadap usulan ini,” jelasnya.

Menurut Yusli, rencana relokasi warga Gaza ke Indonesia berisiko menghapus jejak sejarah Palestina. Ia menegaskan bahwa ide ini dapat menjadi perangkap politik yang membahayakan keberlanjutan identitas bangsa Palestina.

“Palestina membutuhkan bantuan internasional, tetapi gagasan meninggalkan tanah air mereka sama saja dengan bentuk pengusiran terselubung. Jika relokasi ini benar-benar terjadi, maka sejarah akan terulang, mirip dengan tragedi Nakbah 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir oleh Israel. Mereka kehilangan tanah, rumah, dan identitas sejarah mereka,” paparnya.

Ia juga menyoroti betapa sulitnya secara logistik untuk memindahkan dua juta orang dari Gaza ke Indonesia. “Jarak antara Palestina dan Indonesia sangat jauh. Memindahkan dua juta orang bukan sekadar soal transportasi, tetapi juga soal adaptasi sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat kompleks. Relokasi ini jelas tidak masuk akal,” tambahnya.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa jika Gaza dikosongkan, maka Israel akan semakin leluasa merekonstruksi wilayah tersebut sesuai dengan kepentingannya. “Jika wilayah Gaza dibiarkan kosong, Israel dapat menghapus jejak sejarah Palestina dengan mudah. Artefak dan situs-situs bersejarah bisa hilang, dan generasi mendatang Palestina akan kehilangan memori kolektif tentang perjuangan mereka,” ungkapnya.

Wacana pemindahan dua juta warga Gaza ke Indonesia juga dinilai akan membawa dampak besar, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Indonesia, yang bukan bagian dari Konvensi Pengungsi 1951, memiliki keterbatasan dalam memberikan status resmi kepada pencari suaka.

“Jika skenario ini benar-benar terjadi, status mereka di Indonesia hanya sebatas pencari suaka (asylum seeker). Mereka tidak akan otomatis mendapatkan status pengungsi karena Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan dasar mereka akan bergantung pada lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM,” terang Yusli.

Ia juga menyoroti potensi konflik sosial yang mungkin muncul akibat relokasi ini. “Kita bisa melihat dari pengalaman sebelumnya, seperti kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh. Meskipun masyarakat Aceh menyambut mereka dengan baik, tetap saja muncul berbagai tantangan sosial. Para pengungsi membutuhkan tempat tinggal, makanan, pendidikan, hingga pekerjaan. Selain itu, kebutuhan biologis seperti pernikahan sering kali menjadi permasalahan tersendiri,” jelasnya.

Dari sisi ekonomi, Yusli mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki berbagai tantangan domestik yang perlu diatasi. “Saat ini, masih banyak masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika dua juta warga Gaza dipindahkan ke sini, tentu akan menambah beban ekonomi negara yang sudah cukup berat,” katanya.

Yusli juga mengkritik kepentingan yang mungkin melatarbelakangi wacana ini. Ia menyoroti bahwa NBC News, media yang pertama kali melaporkan isu ini, bukanlah media yang sepenuhnya independen.

“Tidak ada media yang sepenuhnya netral. NBC News mungkin mengklaim dirinya sebagai media independen, tetapi mereka tetap memiliki agenda tertentu. Steve Witkoff, orang yang mengeluarkan pernyataan ini, adalah teman dekat Trump di dunia real estate. Oleh karena itu, kita harus lebih jeli dalam melihat siapa yang berada di balik berita ini dan apa kepentingan mereka,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga mencermati alasan mengapa Indonesia disebut dalam wacana relokasi ini. “Indonesia dikenal sebagai negara yang paling vokal dalam mendukung Palestina. Selain itu, kita juga merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar yang sering memprotes kebijakan Israel. Jadi, menyebut nama Indonesia dalam skenario ini adalah langkah politis. Jika kita menerima, kita akan menghadapi tantangan besar. Jika menolak, kita bisa dicap sebagai negara yang tidak peduli terhadap Palestina,” jelasnya.

Sebagai solusi, Yusli menekankan pentingnya diplomasi multilateral melalui forum-forum internasional seperti PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Ia menilai bahwa masalah ini harus menjadi tanggung jawab bersama, terutama oleh negara-negara Arab yang secara geografis lebih dekat dengan Palestina.

“Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Negara-negara Arab, yang lebih dekat dengan Palestina, seharusnya menjadi pihak utama dalam mencari solusi. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara Arab yang justru tidak bersatu dalam isu ini,” ungkapnya.

Ia juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam mendorong negara-negara Arab untuk lebih proaktif dalam membantu Palestina. “Indonesia harus mendorong negara-negara Arab untuk lebih aktif menunjukkan solidaritas mereka, bukan hanya melalui pernyataan, tetapi dengan tindakan konkret,” tambahnya.

Sebagai penutup, Yusli menegaskan bahwa mendukung Palestina adalah bagian dari amanat konstitusi Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa solusi yang diambil harus tetap memperhitungkan dampak bagi semua pihak.

“Kita harus terus mendukung Palestina dalam kerangka diplomasi yang tepat, sesuai dengan prinsip yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945,” tutupnya. (A.Y)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60