Takwa Dhohir Dan Bathin

banner 468x60

Hikmah Ramadan Hari Ke-12

ADADIMALANG – Sudah sering kita mendengar saat Ramadhan para Da’i atau Ustadz mengingatkan umat Islam bahwa puasa wajib dilakukan dengan tujuan agar kita menjadi pribadi yang bertakwa.

Hal ini disebabkan rujukkan hal tersebut sudah jelas yakni Surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Bacaan Lainnya

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Yang menjadi pertanyaan, apa makna takwa? Para ulama secara umum memaknainya dengan arti ‘melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya’. Seringkali publik menerima pengertian tersebut cukup sampai di situ. Jarang sekali umat Islam berusaha mencari keterangan rinci soal definisi ini, menghayatinya, lalu mengamalkan.

“Makna takwapun beredar sedemikian rupa dan menjadi pemahaman yang ala kadarnya. Ketika disebut ‘orang yang ketakwaannya meningkat’ maka yang tergambar adalah orang-orang yang semakin taat melaksanakan shalat, kian rajin membaca Al-Qur’an, tambah gemar puasa sunnah, banyak berdzikir, dan sejenisnya serta otomatis semakin jauh dari perbuatan judi, minuman-minuman keras, zina, bohong dan aktivitas maksiat lainnya,” ungkap Pengasuh PPIQ Darul Hidayah, Gus Hisa Al Ayyubi.

Menurut Gus Hisa, pengertian yang umum dipahami publik tersebut tidaklah keliru namun bukan pula berarti sempurna. Pengertian itu masih didominasi oleh kecenderungan peningkatan ibadah ritual semata. Segi maksiatpun seolah-olah diidentikkan dengan perbuatan lahiriah saja, padahal di dalam diri manusia ada dua hal yang mesti diperhatikan yakni dimensi dhahir dan dimensi bathin.

“Karena itu kiranya kita penting merujuk pada definisi takwa sebagaimana dijelaskan Sayyid Al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyathi dalam kitab Kifayatul Atqiya’wa Minhajul Ashfiya’ dimana beliau mengatakan bahwa takwa adalah istilah yang mengacu pada dilaksanakannya perintah-perintah Allah dan dijauhinya larangan-larangan-Nya secara dhohir maupun bathin, bersamaan dengan ikhtiar merasakan keagungan Allah, juga takut kepada-Nya,” ungkap Gus Hisa.

Dari penjelasan Sayyid Al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyathi  tersebut setidaknya ada dua poin penting yang bisa diserap yakni ketaatan kepada Allah dan ikhtiar menghindari dari durhaka kepada-Nya harus diejawantahkan dalam bentuk perbuatan lahiriah maupun batiniah.

“Takwa dengan demikian tidak hanya berurusan dengan aktivitas fisik tapi juga aktivitas hati. Saat orang-orang mengaitkan takwa dengan perintah shalat, puasa, haji, dan zakat, serta larangan berjudi, mabuk-mabukan, dan sejenisnya, maka sesungguhnya yang dibidik barulah aspek fisik. Padahal perintah dan larangan Allah yang berurusan dengan hati lebih banyak, bahkan juga lebih sulit, direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya justru sisi batin inilah yang paling banyak dilupakan orang,” ungkap pria yang juga pengasuh Majelis Hikmah Islam kota Malang ini.

Poin penting yang kedua adalah merasakan kehadiran Allah karena takwa bukan semata-sama layaknya undang-undang ada perintah kita laksanakan, saat ada larangan baru tidak dilanggar.

Karakter takwa sejati tidaklah semacam itu tetapi berangkat dari kesadaran ilahiah yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan semata-mata karena Allah dan bukan karena kepentingan dunia termasuk kepentingan egonya sendiri.

“Takwa tidak semata berurusan dengan ibadah fisik tapi juga ibadah batin. Muttaqin adalah orang yang sensitif akan kebutuhan orang lain, berjiwa lembut, dan murah hati. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menggapai takwa jenis ini dalam menjalani ibadah Ramadan kali ini. Selamat menjalankan ibadah puasa,” pungkas Gus Hisa Al Ayyubi. (A.Y)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan