Home / Opini / Prepegan dan Nyadran Menjelang Lebaran: Antara Ritus dan Dinamika Sosial-Ekonomi

Prepegan dan Nyadran Menjelang Lebaran: Antara Ritus dan Dinamika Sosial-Ekonomi

( Oleh : Ki Demang* )

Prepegan dan Nyadran merupakan dua tradisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Prepegan berkaitan dengan aktivitas ekonomi dan sosial dalam mempersiapkan kebutuhan Lebaran, sedangkan Nyadran lebih berfokus pada aspek spiritual dan penghormatan kepada leluhur.

Hari Raya Idul Fitri di Indonesia tidak hanya dirayakan sebagai momen religius, tetapi juga sebagai fenomena sosial dan budaya yang kaya akan tradisi. Dua di antara tradisi yang berkembang menjelang Lebaran adalah Prepegan dan Nyadran. Prepegan menggambarkan aktivitas ekonomi yang meningkat dengan adanya lonjakan kebutuhan belanja masyarakat, sedangkan Nyadran mencerminkan praktik spiritual yang bertujuan untuk menghormati leluhur. Dengan menggunakan teori pemaknaan, artikel ini berusaha memahami bagaimana masyarakat memberikan arti terhadap kedua tradisi tersebut dalam konteks sosial dan ekonomi.

Prepegan: Antara Tradisi dan Dinamika Ekonomi
Prepegan berasal dari kata “pepeg,” yang berarti persiapan atau akhir dari suatu periode. Dalam konteks Lebaran, prepegan mengacu pada masa menjelang Idul Fitri yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas belanja masyarakat. Tradisi ini tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia.

Secara sosial, Prepegan mempererat hubungan kekeluargaan dan masyarakat melalui persiapan menyambut tamu, baik keluarga, saudara, maupun tetangga. Dari sisi ekonomi, Prepegan memberikan dampak signifikan terhadap sektor perdagangan, khususnya bagi pedagang pasar, usaha kecil menengah (UKM), serta sektor kuliner dan jasa. Fenomena ini menghidupkan ekonomi lokal dan menciptakan kesempatan bagi pelaku usaha kecil untuk memperoleh keuntungan lebih.

Dalam perspektif teori pemaknaan oleh Clifford Geertz, Prepegan dapat dipahami sebagai ekspresi dari simbol budaya yang mencerminkan nilai kebersamaan dan gotong royong. Belanja menjelang Lebaran bukan sekadar memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga menjadi bagian dari ritual kolektif yang memperkuat solidaritas sosial.

Nyadran: Tradisi Ziarah dan Makna Spiritual
Nyadran adalah tradisi nyekar atau ziarah kubur yang dilakukan menjelang Idul Fitri, terutama oleh masyarakat Muslim Jawa. Tradisi ini berakar dari sinkretisme budaya Hindu-Buddha dan Islam yang berkembang di Nusantara. Nyadran biasanya dilakukan beberapa hari sebelum atau sesudah Idul Fitri dengan tujuan untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal.

Selain sebagai penghormatan kepada leluhur, Nyadran juga memiliki makna reflektif, yaitu mengingatkan manusia akan kematian dan kehidupan akhirat. Praktik ini dapat dikaitkan dengan teori pemaknaan dari Paul Ricoeur yang menekankan pada interpretasi simbol sebagai cara manusia memahami realitas dan eksistensi mereka. Dalam hal ini, Nyadran menjadi sarana bagi individu untuk merefleksikan kehidupan dan memperkuat ikatan keluarga melalui doa bersama.

Di sisi lain, Nyadran juga berfungsi sebagai mekanisme sosial dalam menjaga harmoni komunitas. Kegiatan ini sering dilakukan secara gotong royong, yang menunjukkan peran tradisi dalam memperkuat solidaritas sosial dan menjaga hubungan baik antarwarga.

Kesimpulan
Prepegan dan Nyadran adalah dua tradisi yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjelang Lebaran. Prepegan tidak hanya mencerminkan dinamika ekonomi, tetapi juga memperkuat nilai kebersamaan dan gotong royong. Sementara itu, Nyadran menjadi refleksi spiritual yang mempererat hubungan keluarga serta menjaga harmoni sosial. Dengan menggunakan teori pemaknaan, kedua tradisi ini dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi budaya yang terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman.

* Penulis merupakan Penggagas Kampung Budaya Polowijen, dan mahasiswa Doktor Psikologi Budaya UMM

Tag: