Kampus FIA UB | ADADIMALANG.COM – Seminar dan Diskusi Ilmiah dengan tema ‘Menata Ulang Sistem Penegakan Hukum: Tantangan dan Harapan’ digelar di Auditorium Raden Wijaya Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) pagi tadi, Selasa (18/02/2025)
Dalam seminar dan diskusi yang diikutii sekitar 100 orang mahasiswa dan dosen ini menghadirkan empat narasumber yang berkompeten di bidangnya masing-masing antara lain Dekan FIA UB Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D., yang merupakan pakar kebijakan publik, pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., M.S., salah satu pimpinan media yang juga alumni FIA UB Dr. Kurniawan Muhammad, dan Ketua DPD Federasi Advokat Republik Indonesia (FERARI) Jawa Timur Didik Prasetyo, SH., MS.
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) yang juga pakar Kebijakan Publik Prof. Dr. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D., menyampaikan pentingnya penegakan hukum dalam paradigma good governance sebagai dasar untuk menjamin efektivitas tata kelola pemerintahan yang baik.
Menurutnya, dari perspektif kebijakan publik untuk mewujudkan good governance, penegakan hukum (law enforcement) memainkan peran yang sangat penting sebagai fondasi dalam memastikan bahwa tata kelola pemerintahan berjalan secara efektif dan adil.
“Prinsip check and balance harus diterapkan dengan tegas dalam sistem pemerintahan khususnya dalam hubungan antar lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Jika suatu lembaga terlalu dominan dalam menjalankan fungsi-fungsi tertentu atau menangani semua aspek penegakan hukum mulai dari penyidikan hingga penuntutan, maka hal ini dapat merusak keseimbangan dan menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu penting membagi kewenangan dengan proporsional di antara berbagai lembaga,” jelas Andy Fefta Wijaya.
Dekan FIA UB ini juga mengajukan gagasan untuk membuka saluran baru dalam sistem hukum yakni adanya pengakuan pada penyidik swasta sebagai profesi yang sah sebagaimana yang sudah dipraktikkan di negara-negara maju.
Andy Fefta Wijaya dalam paparannya juga menyoroti adanya potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum yang dapat menciptakan potensi konflik yang merugikan masyarakat.
“Oleh karena itu perlu melihat kembali isi RUU KUHAP ini untuk memastikan tidak ada pasal-pasal yang bertentangan atau memperburuk situasi hukum yang ada. Adanya harmonisasi antar lembaga dalam kebijakan publik sangat penting untuk menciptakan sistem hukum yang efektif dan adil,” pungkas Andy Fefta Wijaya.
Sementara itu Pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yakni Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya menyampaikan perubahan dalam hukum acara pidana diperlukan untuk mengikuti perkembangan dalam masyarakat termasuk untuk mewadahi konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan kemajuan teknologi.
“Dalam pembahasan rancangan KUHAP ini, penegakan hukum dipandang dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, dimana ada isu krusial dalam RUU KUHAP 2023 yakni penggabungan penyelidikan menjadi satu ke dalam penyidikan, overlapping kewenangan penyidik dan jaksa dimana dalam pasal 12 terdapat potensi tumpang tindih kewenangan antara penyidik dan jaksa yang bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam penegakan hukum, dan adanya penghapusan lembaga pra-peradilan yang digantikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang berfungsi untuk memeriksa sah atau tidaknya penyidikan, penuntutan, dan penahanan,” ujar Prof. Nyoman.
Menurutnya, dalam membahas dan mengkaji RUU KUHAP ini para pakar hukum menyarankan dilakukan dengan pendekatan sistem, aktor penegak hukum, dan prinsip diferensiasi fungsional.
“Dengan Pendekatan Sistem maka ada kejelasan dalam sistem hukum kita agar tidak terjadi kebingungannya kewenangan antar aktor dalam peradilan pidana. Dengan pendekatan aktor maka setiap aktor dalam sistem peradilan pidana yakni penyidik, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan harus memiliki kewenangan yang jelas dan independen sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dengan prinsip Diferensiasi Fungsional maka fungsi masing-masing aktor penegak hukum harus dilaksanakan dengan kewenangan yang tidak saling mengintervensi atau tumpang tindih untuk menghindari ketidakpastian hukum,” jelasnya.
Menurutnya, perubahan yang terjadi dalam RUU KUHAP harus cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru dalam praktik peradilan pidana.
https://youtu.be/-5j2uSgBXpc
Pembahasan RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan juga mendapat pandangan dari Ketua DPD Federasi Advokat Republik Indonesia (FERARI) Jawa Timur Didik Prasetyo, SH., MS., yang menyampaikan pandangan dari sisi advokat.
“Adanya potensi tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan dan KPK khususnya dalam hal penanganan kasus korupsi sehingga perlu solusi berupa sinergi antara Kejaksaan, KPK, dan Kepolisian untuk menangani kasus korupsi baik yang besar maupun kecil melalui forum koordinasi yang jelas ” ujar Didik.
Penguatan pengawasan terhadap Kejaksaan dapat dilakuka dengan pembentukan badan pengawas eksternal yang melibatkan masyarakat dan akademisi juga penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
“Perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses penuntutan juga penting sehingga kami usulkan agar dilakukak pelatihan HAM rutin, serta pembentukan unit khusus untuk menangani kasus-kasus sensitif yang berkaitan dengan HAM. Sementara untuk meningkatkan profesionalisme, sistem rekrutmen Jaksa perlu dilakukan dengan berbasis pada kemampuan teknis dan integritas, dengan melibatkan pihak ketiga seperti universitas sebagai pengawas etika,” ungkap Ketua DPD Ferari Jatim.
Rekomendasi umum yang disampaikan oleh Didik adalah agar pemerintah dan legislatif mendengarkan masukan dari akademisi dan organisasi profesi hukum sebelum pengesahan rancangan undang-undang.
Secara keseluruhan, Didik menekankan bahwa meskipun undang-undang dapat disempurnakan, moralitas dan etika dari para penyelenggara hukum adalah faktor kunci yang akan menentukan efektivitas penegakan hukum di Indonesia. (A.Y)