Kota Malang | ADADIMALANG.COM — Dengan tujuan membangun keterampilan resolusi konflik bagi para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat di SMAN 7 Kota Malang hari Selasa kemarin (06/05/2025).
Mengambil tema “Pelajar Cerdas Tanpa Kekerasan: Membangun Keterampilan Resolusi Konflik di SMA Negeri 7 Kota Malang” kegiatan pengabdian masyarakat ini juga diikuti oleh dua orang mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan dalam menyampaian materi kegiatan.
“Kegiatan ini bertujuan memberikan edukasi terkait penyebab konflik di lingkungan sekolah, dampak kekerasan dalam konflik, mengembangkan keterampilan resolusi konflik secara damai, dan mendorong generasi muda menjadi agen perdamaian di lingkungan sekolah,” jelas Ketua Tim Pengabdian Masyarakat, Ruth Agnesia Sembiring, S.Sos., M.A.
Menurut Ruth, beberapa penyebab konflik di lingkungan sekolah yang sering muncul adalah adanya permusuhan dan ketidakpercayaan yang menimbulkan salah paham antar teman, kebutuhan mental dan sosial yang tidak terpenuhi seperti pengakuan atau validasi yang menimbulkan persaingan tidak sehat, bullying atau perundungan, adanya identitas yang teracam baik itu berdasarkan agama, kepercayaan, suku, maupun jenis kelamin dan kesalahpahaman antarbudaya seperti ketidakcocokan dalam cara komunikasi.
“Konflik tidak sepenuhnya negatif karena konflik adalah bagian dari kehidupan manusia. Selama kita hidup pasti berhadapan dengan konflik, namun yang terpenting adalah bagaimana cara kita merespon konflik tersebut,” ungkap Ruth.
Dosen Ilmu Pemerintahan ini kemudian mengutip pandangan filsuf Jerman Georg Simmel yang menyebutkan bahwa konflik dapat menjadi kekuatan yang menguntungkan bagi perubahan sosial dan suatu cara yang sehat untuk mewujudkan kemajuan manusia.
“Sebagai contoh, dalam situasi kerja kelompok perbedaan pendapat kerap terjadi sehingga siswa bisa saja merasa tersinggung karena idenya tidak diterima. Namun, daripada menyikapinya dengan emosi, kondisi ini sebaiknya digunakan sebagai kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki cara berkomunikasi atau menyampaikan pendapat. Maka dari itu, konflik seharusnya menjadi ruang pembelajaran, bukan pemutus relasi sosial,” jelasnya.
Konflik diakui dapat berubah menjadi kekerasan jika tidak direspons secara bijaksana dan malah melibatkan emosional. Konflik yang tidak terselesaikan juga dapat meninggalkan luka psikologis, seperti trauma, rasa takut berinteraksi, atau bahkan menjadi pribadi antisosial.
Oleh karena itu, pelajar perlu dibekali keterampilan resolusi konflik yang mencakup kemampuan mendengarkan secara aktif, kecerdasan emosional dalam merespons situasi, kemampuan berkomunikasi secara asertif atau tanpa menyakiti orang lain, empati dan memahami sudut pandang orang lain, kesiapan untuk berdamai dan mencari solusi bersama dan bukan malah menyalahkan.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan satu skenario konflik di lingkungan sekolah, siswa-siswi tampak aktif berdiskusi dan menyampaikan pendapat mereka terkait resolusi konflik.
Pada sesi akhir, tim pengabdian memberikan kata-kata motivasi yakni “Menjadi pelajar cerdas bukan hanya soal nilai, tetapi juga cara menyelesaikan konflik dengan damai” untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pelajar cerdas bukan hanya terkait nilai yang mereka peroleh di sekolah tapi juga terkait keterampilan mereka dalam resolusi konflik. (A.Y)