Profesor di bidang ilmu Geokimia Tanah dan profesor bidang ilmu Akarologi Tanaman.
ADADIMALANG.COM | KOTA MALANG – Daftar Profesor yang dimiliki oleh Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) akan bertambah panjang. Hal ini disebabkan Senat Akademik Universitas Brawijaya akan segera melantik dua profesor baru dari fakultas tersebut. Pelantikan kedua profesor baru fakultas Pertanian UB ini akan dilaksanakan di Gedung Samanta Krida UB pada hari Selasa besok (27/06/2023).
Profesor ke-30 dari Fakultas Pertanian UB ini adalah Prof. Dr. Ir. Sri Rahayu Utami, M.Sc. yang merupakan profesor dalam bidang ilmu Geokimia Tanah yang memaparkan tentang konsep GeoBioKim SL untuk manajemen kesuburan tanah pada lahan pertanian terdampak erupsi gunung api.
“Erupsi gunung api merupakan bencana alam yang mengakibatkan banyak korban, namun di sisi lain erupsi gunung api juga memberi manfaat positif untuk memperbaharuii kondisi kesuburan tanah. Dengan melepaskan unsur hara yang terkandung akan dapat memperbaiki kondisi tanah, namun hal ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak dapat dimanfaatkan dalam jangka pendek,” jelas Prof. Sri Rahayu.
Menurut Sri Rahayu, lahan pertanian yang terdampak erupsi gunung api memiliki kendala sifat fisik, kimia dan biologi tanah bagi pertumbuhan dan produksi tanaman sehingga dibutuhkan modifikasi perilaku untuk memperbaiki kondisi tanah kembali subur dalam waktu dekat dan dapat dimanfaatkan segera oleh petani yang tinggal di sekitar gunung api.
Untuk memperbaiki kesuburan tanah pasca bencana gunung api, Sri Rahayu Utami mengenalkan konsep GeoBioKim SL dimana konsep tersebut merupakan perpaduan antara teknologi biologi baik vegetatif dan mikroorganisme fungsional dan kimia yang terdiri atas amandemen organik dan anorganik sebagai upaya unutk menaggulangi dampak erupsi.
”Disebut spesifik lokal karena menggunakan vegetasi dan mikroorganisme yang adaptif pada wilayah terdampak, serta berdasar pilihan petani,” jelasnya.
Manajemen lahan pertanian terdampak erupsi gunung api sebelumnya memisahkan antara teknik vegetatif dan kimiawi namun hasilnya belum maksimal.
”Keunggulan konsep ini, dibandingkan teknik sebelumnya adalah adanya penggunaan vegetasi dan mikroorganisme lokal sehingga diyakini dapat tumbuh dan bertahan dalam kondisi lahan terdampak erupsi ekstrim. Selain itu, vegetasi berdasar pilihan petani juga menjamin tingkat adopsi yang tinggi. Namun, kelemahannya adalah konsep ini baru diaplikasikan pada skala pot, dan membutuhkan uji coba lebih lanjut pada skala yang lebih luas,” ujarnya.
Perempuan yang akrab disapa Yayuk ini berharap konsep GeoBioKim SL dapat dikembangkan dengan kerjasama antara pemerintah daerah dengan masyarakat sekitar untuk menggali potensi daerah dalam mengembangkan sistem pertanian yang adaptif dan menguntungkan secara ekonomi dan ekologi.
”Mengingat bahwa sistem agroforestri ternyata lebih tahan terhadap dampak erupsi dan lebih cepat pulih, maka penerapan sistem agroforestri dengan tetap memprioritaskan pilihan petani, akan lebih menjanjikan baik secara ekonomi maupun lingkungan,” pungkasnya.
Sementara itu profesor ke-31 Fakultas Pertanian UB adalah Prof. Dr. Ir. Retno Dyah Puspitarini, M.S yang merupakan profesor dalam bidang ilmu Akarologi Tanaman yang memaparkan tentang Strategi Hijau untuk Kelestarian Kehidupan Tungau yang Harmoni di Agroekosistem.
“Strategi hijau merupakan bagian dari berbagai strategi pengendalian tungau hama terpadu yang bersifat preemtif dan korektif. Strategi ini pada dasarnya adalah rekayasa ekologi untuk menyehatkan lahan, tanaman, dan mendatangkan musuh alami seawal mungkin serta mengupayakan agar populasinya senantiasa setinggi mungkin, yang didapat melalui implementasi praktik kultur teknis, khususnya manipulasi habitat; penerapan tanaman inang yang tahan hama melalui evaluasi biologi dan parameter demografi dan peningkatan peran kompleks musuh alami,” ujar Prof. Retno.
Strategi hijau sendiri menurut Retno terbagi dalam beberapa jenis, seperti peningkatan diversitas vegetasi melalui penerapan sistem tanam tumpang sari dan penanaman tumbuhan-tumbuhan refugia di agroekosistem sebagai bentuk manipulasi habitat, penggunaan varietas-varietas tanaman yang tahan terhadap serangan tungau fitofag.
Penentuan derajat ketahanan tanaman inang diperoleh dari kajian biologi dan parameter demografi setiap jenis tungau hama, pemanfaatan kompleks musuh alami; serangga dan tungau predator, serta jamur entomo-acaripatogen untuk mengendalikan populasi tungau hama di agroekosistem serta pengaplikasian pestisida berbasis ekstrak tumbuhan sebagai pengganti pestisida kimia sintetis.
“Keunggulan strategi ini adalah pemahaman bahwa tungau merupakan bagian penting dari ekosistem. Berbeda dari konsep terdahulu yang mengabaikan kelestarian tungau akibat pengendalian yang lebih menitikberatkan pada aplikasi pestisida secara konvensional sehingga banyak menimbulkan gangguan dan ketidakseimbangan dalam agroekosistem. Namun demikian untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penerapan konsep ini masih tetap memerlukan penelitian lanjutan, demikian juga beberapa tindakan pengendalian yang dipilih tampaknya tidak selalu mudah untuk diterapkan,” imbuhnya.
Akarologi merupakan ilmu yang relatif baru di Indonesia, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut secara terus menerus untuk mendapatkan pakar-pakar yang memahami kehidupan tungau yang diharapkan dapat berperan dalam mengatasi permasalahan tungau hama di berbagai pertanaman.
“Berbagai penelitian yang telah dilakukan dan akan terus dikembangkan merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah tungau hama secara terpadu agar populasinya diharapkan senantiasa pada ambang batas yang tidak merugikan, sehingga produksi yang optimal bisa tercapai,” pungkas Prof. Retno. (A.Y)