PP tersebut dinilai terlalu dalam mengatur kehidupan privat warga negara.
ADADIMALANG.COM | Kota Malang – Munculnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2022 tentang Pembayaran Piutang Negara mendapat respon dari banyak pihak. Bahkan pengamat serta akademisi menilai PP nomor 28 tahun 2022 tersebut sangat layak untuk di uji materi.
Hal tersebut muncul saat pelaksanaan diskusi publik dengan tema ‘Perlindungan Hak Warga Dari Kesewenang-wenangan Negara: Membedah Konstruksi Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2022 dari Aspek Hukum’ yang digelar di Social Garden Sawojajar Kota Malang sore hari tadi, Senin (14/08/2023).
Dalam diskusi yang menghadirkan dua akademisi yakni Dr Dewi Cahyandari SH., MH., selaku Pakar Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) dan pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM) Sumali, SH., MH., ini banyak membahas tentang dampak yang dirasakan masyarakat dari penerapan PP tersebut.
Pengamat Politik yang juga moderator diskusi yakni Dr. Ari Junaedi menyampaikan dilihat dari berbagai aspek hukum, PP nomor 28 tahun 2022 tersebut memiliki cacat formil baik dari sisi hukum maupun materi sehiingga tidak ada salahnya jika Pemerintah melakukan revisi pada PP tersebut.
“Dampaknya sangat luar biasa karena negara dapat mencabut hak kependudukan, bisa mencabut seperti KTP, SIM, paspor sehingga ini dapat menjadi titik tekan bahwa perlindungan HAM harus ditempatkan di titik yang tinggi namun PP ini mendegradasi HAM,” ungkap Ari.
Ari mengakui dari beberapa akademisi di beberapa perguruan tinggi yang telah melakukan diskusi tentang PP nomor 28 tahun 2022 tersebut, rerata menyampaikan bahwa PP tersebut perlu untuk di uji materi.
https://youtu.be/w9HE5le25tk
Dalam diskusi yang dihadiri awak media dan praktisi hukum tersebut, Dr Dewi Cahyandari SH, MH., menyampaikan jika secara ontologis pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tersebut patut dipertanyakan
“Apakah negara dapat disamakan dengan privat dalam piutang negara sehingga bisa mencabut hak-hak keperdataan warga negara dalam hal piutang negara?,” ungkap perempuan ramah ini.
Menurutnya, kita berangkat dari para pihak yang merasa PP tersebut ada permasalahan dengan melakukan uji materi ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi..
“Jika kita lihat tadi di dalam PP tersebut ada sampai ahli waris dari seseorang yang memiliki hutang dapat terkena aturan di PP ini. Jika merasa PP ini harus mengatur itu dan ahli waris yang merasa dirugikan ya dapat menggunakan mekanisme untuk melakukan pengujian pada PP tersebut,” pungkas Dewi.
https://youtu.be/Gk0JpJ5AF2U
Sementara itu mantan Hakim Adhoc Tipikor yang merupakan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM) yakni Sumali, SH., MH., menegaskan PP Nomor 28 Tahun 2022 memiliki banyak kecacatan seperti Undang-Undang Panitia Urusan Piutang Negara Tahun 1960 baru dibuatkan Peraturan Pemerintah-nya pada tahun 2022 lalu.
“Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 ini tidak memiliki konsiderans secara filosofis dan sosiologis. Jangan-jangan PP ini dibuat karena pemerintah memang sedang kekurangan dana untuk membangun Ibu Kota Negara?. PP ini sarat dengan dengan aspek perdata dan terlalu luas dampaknya terhadap aspek-aspek layanan publik seperti pelayanan kependudukan, pencekalan, bahkan terlalu melampaui kewenenangan negara,” ungkap Sumali.
Dari diskusi tersebut diketahui beberapa pasal yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 seperti pasal 1 tentang pihak yang memperoleh hak dan kualifikasi penanggung utang diketahui bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 49 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1960 tentang Panitiya Urusan Piutang Negara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM). Bahkan pasal 38 Ayat (1) PP Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengalihan Hak Secara Paksa juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (A.Y)