Tradisi Likuran dalam Ramadan: Dari Ritus hingga Pasar (Perspektif Fenomenologi dan Psikologi Budaya)

Tradisi arak obor di Padang (Foto : Ist)
Tradisi arak obor di Padang (Foto : Ist)
banner 468x60

Penulis: Isa Wahyudi (Ki Demang)
Penggagas Kampung Budaya Polowijen
Peserta Program Doktoral Psikologi Budaya UMM

Tradisi Likuran merupakan fenomena budaya yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Istilah “Likuran” berasal dari kata “likur,” yang berarti dua puluh, merujuk pada malam-malam ke-21 hingga ke-30 Ramadan yang dipercaya memiliki keberkahan khusus, terutama malam Lailatul Qadar. Tradisi ini diwujudkan dalam berbagai bentuk, mulai dari ritus keagamaan, penerangan dan obor, pawai serta arak-arakan, hingga perayaan ekonomi melalui pasar malam.

Bacaan Lainnya

Melalui pendekatan fenomenologi, kita dapat memahami bagaimana masyarakat mengalami dan memberi makna pada tradisi ini. Sementara itu, interaksi simbolik dan psikologi budaya membantu kita melihat bagaimana simbol-simbol dalam tradisi ini dikonstruksi dan diwariskan secara sosial, serta bagaimana tradisi ini memengaruhi aspek psikologis individu dalam komunitas.

Festival Patrol di Sidomulyo Kota Batu, Rabu 19 Maret 2025 kemarin (Foto : Fima Wijaya)
Festival Patrol di Sidomulyo Kota Batu, Rabu 19 Maret 2025 kemarin (Foto : Fima Wijaya)

Ritus dan Simbol dalam Tradisi Likuran
Secara umum, tradisi Likuran di berbagai daerah mengandung unsur penerangan, doa, dan kebersamaan. Mircea Eliade (1957) dalam The Sacred and the Profane menjelaskan bahwa ritual keagamaan seperti penerangan obor dan lampu minyak menciptakan ruang sakral yang menghubungkan manusia dengan yang transenden.

Beberapa contoh ritus penerangan ini adalah:
1. Tumbilotohe (Gorontalo) – Menyalakan lampu minyak sebagai simbol penerangan spiritual.
2. Lampu Colok (Riau & Kepulauan Riau) – Membentuk pola Islami dengan cahaya.
3. Obor Likuran (Banyuwangi & Madura) – Obor menjadi simbol cahaya dalam kegelapan.
4. Padusan (Jawa Tengah & DIY) – Ritual mandi sebagai simbol penyucian diri.

Secara simbolik, penerangan ini dapat dikaitkan dengan teori Victor Turner (1969) dalam The Ritual Process, yang menyatakan bahwa ritual transisi menciptakan “liminalitas” (keadaan antara), di mana individu meninggalkan identitas lama dan mempersiapkan diri memasuki fase baru, dalam hal ini dari Ramadan menuju Idulfitri.

Suasana patrol yang diikuti anak-anak dan orang dewasa di desa (Foto : Apriyo Putro /Apry Aje)
Suasana patrol yang diikuti anak-anak dan orang dewasa di desa (Foto : Apriyo Putro /Apry Aje)

Pawai dan Arak-arakan: Interaksi Simbolik dalam Tradisi Likuran
Selain ritus penerangan, masyarakat juga menghidupkan malam Likuran dengan berbagai bentuk perayaan komunal, seperti:

1. Pawai Malam Likuran (Jawa Tengah & DIY) – Pawai obor dan lampion sebagai bentuk ekspresi kebersamaan.
2. Pawai Takbir Keliling (Semarang, Pekalongan, dll.) – Interaksi sosial melalui takbiran bersama.
3. Bagarakan Sahur (Kalimantan Selatan, Banjar) – Membangunkan sahur dengan musik dan kentongan.
4. Takbiran & Musik Patrol (Madura, Probolinggo, dll.) – Musik patrol sebagai bagian dari ekspresi budaya.

Dalam perspektif interaksi simbolik, Herbert Blumer (1969) menekankan bahwa makna suatu tradisi lahir dari interaksi sosial. Pawai dan arak-arakan bukan hanya bentuk ekspresi keagamaan, tetapi juga mencerminkan identitas sosial masyarakat. Simbol-simbol seperti obor, lampion, dan alat musik menjadi cara masyarakat membangun kebersamaan dan membentuk realitas sosial yang disepakati bersama.

Suasana permainan mercon bumbung anak-anak (Foto : Apriyo Putro /Apry Aje)
Suasana permainan mercon bumbung anak-anak (Foto : Apriyo Putro /Apry Aje)

Psikologi Budaya: Makna Tradisi Likuran bagi Individu dan Komunitas
Dari perspektif psikologi budaya, tradisi Likuran berfungsi sebagai mekanisme kolektif yang memperkuat identitas dan kesejahteraan psikologis masyarakat. Lev Vygotsky (1978) dalam Mind in Society menjelaskan bahwa budaya membentuk cara individu berpikir dan merasakan. Tradisi ini memiliki beberapa dampak psikologis utama:

1. Kesejahteraan Emosional – Ritual seperti doa bersama dan penerangan menciptakan perasaan damai dan harapan.
2. Kohesi Sosial – Kegiatan bersama seperti pawai dan pasar malam memperkuat solidaritas dan keterikatan sosial.
3. Transendensi dan Spiritualitas – Malam-malam Likuran memungkinkan individu merasa lebih dekat dengan Tuhan dan komunitasnya.

Pasar Malam dalam Tradisi Likuran: Antara Religi dan Ekonomi
Salah satu aspek menarik dari tradisi Likuran adalah berkembangnya aktivitas ekonomi, terutama dalam bentuk pasar malam, seperti:

Tradisi Maleman (Surabaya, Madura, Malang) – Pasar malam khusus yang menjual perlengkapan Lebaran.
Dugderan (Semarang) – Festival Ramadan yang berlanjut hingga malam-malam terakhir.

Menurut Clifford Geertz (1960) dalam The Religion of Java, tradisi pasar malam menunjukkan adanya sintesis antara agama, budaya, dan ekonomi. Pasar malam tidak hanya menjadi tempat transaksi ekonomi tetapi juga ruang sosial di mana nilai-nilai budaya dan identitas Islam Jawa direproduksi.

Kesimpulan
Tradisi Likuran merupakan fenomena budaya yang kaya akan makna simbolik dan psikologis. Dari ritus penerangan hingga pasar malam, setiap aktivitas mencerminkan interaksi sosial dan spiritual masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, kita memahami bagaimana tradisi ini dialami secara subjektif, sementara teori interaksi simbolik dan psikologi budaya membantu kita melihat bagaimana makna-makna tersebut dikonstruksi dan diwariskan.

Sebagai warisan budaya, Tradisi Likuran bukan hanya ritual tahunan tetapi juga mekanisme sosial yang memperkuat identitas, spiritualitas, dan ekonomi masyarakat Indonesia. (*)

Artikel ini ditulis dan sepenuhnya menjadiFestival Patrol di Sidomulyo Kota Batu, Rabu 19 Maret 2025 kemarin (Foto : Ist) tanggungjawab penulis.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60