Kota Malang | ADADIMALANG.COM – Dalam rangka memperingati Hari Tari Sedunia pada 29 April 2025 mendatang, Kampung Budaya Polowijen (KBP) kembali menggelar Festival Kampung Budaya Polowijen ke-8 pada Sabtu, 26 April 2025.
Mengangkat tema Sewindu Nyabrang KBP, festival ini kali ini diadakan pada akhir bulan, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang selalu digelar bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kota Malang. Hal ini sengaja dilakukan mengingat perayaan Lebaran yang baru saja berlangsung pada awal bulan April.
Festival ini dirancang untuk mengangkat dan memperkenalkan seni topeng tradisional yang menjadi warisan budaya di Malang, terutama Topeng Jaranan Bantengan Polowijen.
Isa Wahyudi yang lebih akrab disapa Ki Demang yang merupakan penggagas KBP mengungkapkan bahwa Hari Tari Sedunia adalah waktu yang tepat untuk menyatukan berbagai elemen seni dalam satu panggung.
“Polowijen dulu adalah pusat budaya dan seni di Malang, tempat lahirnya berbagai jenis kesenian topeng. Oleh karena itu, acara seperti ini perlu dihadirkan sebagai bentuk apresiasi terhadap pelaku seni lokal,” kata Ki Demang.
Festival Kampung Budaya Polowijen #8 kali ini menggelar lomba Tari Topeng Malang yang diikuti oleh 100 peserta yang terbagi dalam tiga kategori yakni kategori A untuk anak-anak TK hingga SD, kategori B untuk SD kelas 4 hingga 6, dan kategori C untuk siswa SMP hingga SMA. Lomba ini menjadi ajang kompetisi yang seru, di mana para peserta bersaing untuk meraih gelar Juara dan Harapan.
Selain lomba tari, festival ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi para sanggar seni yang telah lama melestarikan topeng tradisional. Beberapa sanggar dari berbagai daerah di sekitar Malang turut berpartisipasi, seperti Kedungmonggo, Lowokpermanu, Sengreng, Pijiombo, Jatigui, Kanggan, Jambuwer, Jabung, Tumpang, Glagahdowo, Singosari, Lawang, dan tentu saja, Polowijen.
Salah satu daya tarik utama dalam festival ini adalah Gejug Gongseng #2, sebuah pertunjukan yang mengangkat tema Topengan Jaranan Bantengan Polowijen Seduluran. Dalam pertunjukan ini, penonton dimanjakan dengan beragam atraksi topengan jaranan, seperti jaranan tik, jaranan dor, dan bantengan Polowijen yang menjadi ikonik. Tak hanya itu, penampilan pencak dor yang hampir punah juga turut mengisi acara, menambah kekayaan budaya yang dipertontonkan.
Selain itu, Gejug Gongseng #2 juga menghadirkan sejumlah grup kesenian ternama, di antaranya Satriya Panawidjen, Putra Manunggal Nawasena Panawijen, Putra Mahkota Panawijen, Winoro Maheso Sekar Budoyo Polowijen, serta Jowo Line Dance.
Festival ini juga diramaikan dengan tradisi Arak-arakan Topeng Malang menuju Makam Mbah Tjondro Suwono (Mbah Reni), seorang Mpu Topeng yang dikenal sebagai leluhur seni topeng Malang. Para peserta lomba tari topeng dan performer Gejug Gongseng mengikuti arak-arakan yang dipandu oleh Ki Lelono dan Ki Demang. Dengan mengenakan kostum topeng yang khas, arak-arakan ini berlangsung penuh khidmat dan sakral. Ibu-ibu berkebaya dan warga sekitar juga ikut serta dalam acara ini, termasuk kelompok jaranan bantengan.
Menurut Ki Demang, seni topeng bukan hanya sekadar pertunjukan tetapi juga tentang menghormati leluhur yang telah mewariskan kesenian tersebut.
“Oleh karena itu, setiap kegiatan topeng di KBP selalu disertai dengan ritual arak-arakan dan nyadran ke makam Mbah Reni, sebagai bentuk penghormatan kami terhadap sang empu topeng,” tegas Ki Demang.
Pelaksanaan festival ini semakin menguatkan posisi Kampung Budaya Polowijen sebagai pusat pelestarian seni dan budaya tradisional di Kota Malang. Polowijen tidak hanya menjadi ruang bagi para seniman dan budayawan untuk berkumpul dan berkolaborasi, tetapi juga menjadi tempat di mana tradisi dan seni yang hampir terlupakan bisa terus hidup dan berkembang. (A.Y)