Kota Malang – Setelah cukup lama tidak terlaksana dialog dan diskusi di Rumah Baca Cerdas (RBC), bersamaan dengan perubahan Rumah Baca Cerdas menjadi Institute, diskusi dengan tema Kota Malang Jelang Pilkada 2018 dan Pileg 2019 kembali digelar dan mendapatkan animo yang luar biasa dari para pesertanya, Jumat (05/01).
Cukup menariknya tema diskusi menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kota Malang menyebabkan diskusi tersebut memiliki daya tarik yang sangat tinggi yang terlihat dari peserta diskusi yang memenuhi ruangan tempat pelaksanaan diskusi tersebut hingga tempat duduk yang disediakan juga tidak mencukupinya.
Diskusi tentang politik yang dilaksanakan oleh Rumah Baca Cerdas Institute ini menghadirkan tiga pemateri yang merupakan praktisi senior di bidangnya masing-masing seperti Direktur Intrans Publishing Luthfi J. Kurniawan yang merupakan Founder Malang Corruption Watch (MCW), Politisi PDIP kota Malang Hadi Susanto dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Imam Wahyudi.
Dalam kaitan Pilkada kota Malang 2018, politisi PDIP Hadi Susanto mengatakan bahwa dalam Pilakada kota Malang kali ini PDIP akan bergabung bersama membuat koalisi besar untuk kepentingan masyarakat Kota Malang.
“Saat ini Kota Malang membutuhkan pemimpin yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Sudah waktunya ada perubahan-perubahan yang signifikan bagi kota Malang,”ujar Hadi Susanto.
Sementara itu, praktisi lembaga anti korupsi Luthfi J. Kurniawan menyatakan bahwa hingga saat ini politisi partai politik di Kota Malang masih belum cakap dalam membangun komunikasi politik, padahal komunikasi tersebut menjadi faktor penting untuk memenangkan masyarakat.
“Partai harus bisa mendesain dengan baik, demokrasi yang dianut harus benar-benar menyampaikan aspirasi masyarakat. Untuk Pilkada 2018, dikatakan head to head, Abang dan Ijo mungkin akan terjadi di daerah tertentu, tetapi faktor yang akan mempengaruhi itu justru akan berada di wilayah yang jarang tersentuh,” ujar Lutfi.
Akademisi UMM, Imam Wahyudi dalam paparannya menyampaikan bahwa budaya politik Indonesia masih dipengaruhi oleh rekam jejak atau sejarah sehingga ideologi partai di Indonesia tidak memiliki landasan yang pasti.
“Tidak ada ideologi yang jelas pada partai Indonesia. Semua partai berebut untuk mendapatkan label partai nasionalis ehingga membuat masyarakat sulit memahami perbedaan partai. Nasionalis yang selalu memenangkan hati masyarakat, karena masyarakat sudah trauma pada ekstrim kanan atau kiri,” ujar Imam Wahyudi.
Menurut Imam Wahyudi, pemimpin yang berhasil memenangkan pemilihan selalu saja merupakan anti tesa dari pemimpin yang sudah memimpin sebelumnya.
“Jokowi terpilih menjadi Presiden yang merupakan figur antitesa dari figur SBY. Bisa saja nanti terpilih figur Walikota Malang yang merupakan antitesa dari Walikota Malang saat ini,” ujar Imam Wahyudi.
Perlu diketahui, RBC Institute merupakan lembaga sosial kemasyarakatan nirlaba yang melakukan kegiatan ilmiah untuk mengkaji kebijakan pemerintah lokal, regional dan pusat dengan berbagai lintas bidang mulai bidang keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. (A.Y)