
Dewan Profesor UB laksanakan Seminar Nasional bahas kedaulatan Pangan.
ADADIMALANG – Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintahan saat ini dinilai masuh berpatokan pada paradigma mewujudkan Ketahanan Pangan.
Padahal dengan konsep Ketahanan Pangan tersebut maka yang diutamakan adalah adanya ketersediaan pangan tanpa peduli sumbernya dari mana.
“Itu menjawab kenapa saat ini banyak pangan yang masih impor, dan bukan diupayakan dipenuhi sendiri di dalam negeri. Kenapa impor? karena dengan impor itu akan ada keuntungan yang diperoleh. Seperti dulu ada kasus impor daging sapi dari Australia yang menyebabkan seorang pimpinan partai terkena kasus hukum,” ungkap Prof. Dr. Rachmat Safaat, SH., M.Si usai menjadi pemateri dalam Seminar Nasional dengan tema ‘Mewujudkan Kedaulatan Pangan Nasional Dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan yang Baik dan Sehat Bagi Warga Negara’ yang dilaksanakan oleh Dewan Profesor Universitas Brawijaya (UB) pagi tadi, Rabu (15/06/2022).
“Jika pemerintah terus melakukan kebijakan Ketahanan Pangan seperti ini, maka dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi persoalan dalam hal pangan. Sudah seharusnya masalah pangan ini berubah menjadi Kedaulatan Pangan, dimana kebutuhan pangan ini dipenuhi dari hasil sendiri di dalam negeri. Jadi dipersiapkan dulu kebutuhannya, baru stop impor dan memulai memenuhi kebutuhan sendiri dari dalam negeri,” ungkap mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini.
Saat ditanya kemampuan Indonesia untuk melaksanakan Ketahanan Pangan, Rachmat Safaat justru optimis Indonesia mampu melaksanakan hal tersebut tetapi membutuhkan keberanian dan kebijakan pemerintah untuk mewujudkannya.
“Masyarakat di berbagai daerah Indonesia itu mampu untuk berdaulat atas pangan seperti masyarakat Baduy atau Tengger yang mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka dari wilayahnya sedndiri,” ungkapnya.
Dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan yang dimaksudkan, Rachmat Safaat menyampaikan ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan seperti luas lahan tanah pertanian, petani dan subsidi.
“Contohnya saja soal subsidi, di Amerika atau China setiap orang atau petani diberi subsidi 500 juta dalam setahun, sementara di kita apa? subsidi pupuk aja repot. Subsidi tidak ke petani malah ke petani berdasi. Hal ini juga menyebabkan banyak petani kita berhenti berprofesi sebagai petani,” jelasnya.
Para petani di Indonesia saat ini diketahui hanya menjadi petani penggarap yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, sehingga menuju kedaulatan pangan maka diperlukan adanya reforma agraria dalam bentuk pemberian lahan kepada para petani minimal 2 hektar.
“Untuk lahan pertanian sawit saja bisa diberikan atau disediakan lahan yang begitu luas, kenapa untuk para petani tidak bisa. Lahan ada, kemarin pemerintah membuat food estate itu menyiapkan lahan 600 hektar yang saat ini justru terbengkalai dan petani malah dijadikan buruh di sana,” terang Rachmat Safaat kepada AdaDiMalang.
Pelaksanaan Seminar Nasional oleh Komisi B Dewan Profesor Universitas Brawijaya tersebut Dewan profesor UB yakni Prof Dr H Armanu SE., M.Sc merupakan kontribusi pemikiran para akademisi Universitas Brawijaya kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas hidup berbangsa dan bernegara.
“Dalam kegiatan seminar ini maka pemikiran kita dapat dikembangkan dan dapat bermanfaat bagi masyarakat, intinya di situ,” ungkap Armanu
https://youtu.be/C12A1D_4scY
Setelah kegiatan seminar nasional kali ini, bulan depan Komisi C Dewan Profesor UB akan menggelar kegiatan serupa dengan tema pembahasan yang berbeda. (A.Y)