Pancasila dalam Tafsir Progresif
*Oleh : Mohamad Anas
Dalam beberapa bulan terakhir, penulis menyempatkan diri aktif dalam kegiatan kerukunan beragama yang digagas oleh Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia) NU Kota Malang, di mana penulis sampai sekarang juga menjadi anggota aktif di dalamnya.
Program dan kegiatan kerukunan beragama yang dilaksankan tersebut akhirnya menyentuh beberapa sisi sensitif dalam kehidupan beragama kita, khususnya di Kota Malang serta Kabupaten Malang.
Beberapa kali FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan menghasilkan beberapa temuan di lapangan mengenai masalah-masalah kehidupan keagamaan yang hingga sampai saat ini belumlah tuntus.
Misalnya, sulitnya mendirikan rumah ibadah bagi kelompok minoritas. Hal ini disinyalir karena beberapa penyebab, di antaranya menyangkut aturan pendirian rumah ibadah itu sendiri, dominannya kelompok mayoritas yang selalu khawatir akan berkembangnya agama minoritas. Tekanan mayoritas kepada pengambil kebijakan mengakibatkan dikeluarkannya surat yang tidak mengizinkan pendirian rumah ibadah.
Ironisnya, tekanan massa agar tidak mendirikan rumah ibadah kelompok minoritas tersebut justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Kasus kebebasan beragama lainnya yang juga cukup menyita perhatian adalah terkait dengan kelompok Penghayat kepercayaan.
Meskipun pada instansi tertentu telah mendapatkan pengakuan, akan tetapi di beberapa masih terkendala karena unsur subjektivitas dari pelayan masyarakat yang masih saja menganggap ada 6 resmi agama di Indonesia.
Kisah sekelumit di atas hanyalah protret kecil dari kenyataan yang terjadi sebetulnya di lapangan, belum lagi problem kesejahteraan, kebebasan hak sipil, disintegrasi, dan lain sebagainya.
Secara teoritik, kita lalu dirisaukan dengan tesis-tesis besar yang selama ini didengungkan oleh para pemikir tentang Pancasila, misalnya saja bahwa “nilai-nilai fundamental Pancasila telah melekat atau inheren dalam kehidupan bangsa ini selama beberapa abad lamanya”; bahwa “Pancasila sejatinya adalah karakter atau jati diri bangsa Indonesia”, “Pancasila itu kristalisasi dari kebudayaan kita”, dan seterusnya.
Dalam konteks demikian, penulis merasa terdapat kontradiksi yang sedemikian rupa antara teori dan praktik, antara das Sein dan das Sollen, antara idea dan realitas, atau apakah memang dibentuk demikian bahwa teori ya teori, tidak ada ada kaitan sama sekali dengan realitas?. Kemandulan Pancasila dalam praktik ini selalu kita mantrakan di ruang-ruang kelas, dijargonkan sedemikian rupa, bahkan lebih sering dijadikan slogan untuk kepentingan politik praktis tertentu.
Dua Arah Praktik Pancasila
Telah menjadi pengetahuan umum jika implementasi Pancasila dalam upaya pembudayaan telah dilakukan oleh Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Di era Orde Lama atau lebih tepatnya era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi) malalui narasi Manipol-Usdeknya sedemikian rupa didengungkan di masyarakat, tafsir Pancasila ini lalu dianggap menyimpang dari kemurniannya dan mengakibatkan kejatuhan Soekarno serta perpecahan kalangan politik nasional.
Demikian pula di era Orde Baru, tepatnya di awal 1979, dimulailah indoktrinasi Pancasila dengan jalan penataran P4, yakni Gerakan Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila.
Nyatanya, pola pembudayaan ini juga gagal mewujudkan masyarakat yang berkarakter Pancasila karena Pancasila lebih dijadikan tameng penguasa untuk mempertahankan kekuasannya.
Proyek penataran P4 akhirnya gagal dan sekaligus tumbang seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru di tahun 1998.
Setelah lebih 20 tahun reformasi berjalan, banyak kalangan yang merasa gelisah akibat kemerosotan sedemikian rupa karakter bangsa Indonesia, bahkan berjalannya bangsa ini dinilai tidak berjalan pada track yang benar.
Maka pada tahun 2017 dibentuklah Unit Pembinaan Ideologi Pancasila atau UKP PIP, yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi BPIP.
Sejauh ini masih belum terlihat gebrakan pembudayaan Pancasila yang bersifat sistemik dan komprehensif, kita baru mendengar beberapa hasil kajian, seminar atau sekedar penghargaan pada masyarakat yang dinilai menerapkan Pancasila. Bagaimana nasib BPIP ini kedapan? Sejarah kelak yang akan menjawabnya.
Jika pendekatan pembudayaan Pancasila dari sisi top-down mengalami kegagalan berkali-kali, bagaimanakah sebetulnya Pancasila di level button up? Praksis Pancasila pada level masyarakat sifatnya sangat kultural yang terus menerus dipraktiknya sebagai bagian dari upaya mempertahankan eksistensi.
Hal tersebut sesuai dengan tesis yang dikemukaan oleh Notonagoro bahwa akar pengetahuan Pancasila (epistemologi Pancasila) terbentuk dari salah satunya adalah aspek material. Aspek material itu berupa adat, tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia (Kaelan, 2009). Pandangan tersebut mendapatkan legitimasi epistemologi kultural dalam tradisi tepa sliro, welas asih, anjang sana dan seterusnya sebagai representasi praktik toleransi. Praktik kemanusiaan anti diskriminatif yang menerima dengan sepenuh hati orang lain atau liyan untuk hidup bersama di negeri ini dapat dilihat misalnya dalam tradisi Sambatan di sebuah desa di Karanganyar Jateng mempunyai nilai yang luhur, yakni meringankan beban tetangga dengan membantu tanpa pamrih, sehingga terasa ringan karena dilaksanakan secara bersama (Kartikasari, 2017).
Sementara praktik keharmonisan sebagai cerminan sila ketiga dapat dijumpai pada tradisi Lisan Hawihang (Yanzi, 2018). Tradisi lisan ini hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional dalam rangka menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta menjaga nilai-nilai multikulturalisme. Kearifan lokal bangsa yang terkait dengan musyawarah ini dapat ditemui dalam tradisi rembug desa. Terdapat pula misalnya tradisi Tudang Sipulung masyarakat Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang (Fatmawati P, 2018). Tradisi ini dijalankan warga dengan sangat sederhana, mereka melaksanakan musyawarah tentang pertanian, dari mulai merencanakan, menanam, pelaksanaan hingga pad saat memanen. Tradisi ini dilaksakan di tempat-tempat yang sederhana, misalnya di gubuk sawah, lapangan, bahkan balai desa. Sementara nilai kelima, yakni keadilan tercermin dari berbagai tradisi lokal seperti sadranan, dan lainnya.
Praktik pembudayaan Pancasila yang terjadi di tengah masyarakat ini mungkin saja dapat diklaim sebagai bagian dari pembudayan Pancasila secara kultural dengan penafsiran yang bersifat ‘esoterik’. Praktik tradisi tersebut juga sangat mungkin menjadi penopang kebudayaan nasional, akan tetapi Pancasila tidak hanya sekedar ritus yang dirayakan dan diberi makna filosofis semata, Pancasila harus praksis dalam meredam sikap intoleransi yang bahkan mengarah pada ektrimisme dan radikalisme, Pancasila juga harus praksis dalam gerakan anti diskriminasi, keharmonisan harus pula dirawat dengan tanpa mengunggulkan etnis atau kelompok tertentu, hingga pencapaian tahap kesejahteraan sosial yang substantif dan distributif.
Kemandulan Praksis Progresif Pancasila
Tafsir progresif Pancasila demikian tidak terlalu banyak berkumandang di akhir-akhir ini, yang terjadi belakangan justru kemunculan tafsir Pancasila yang hanya menekankan satu dimensi dan mengabaikan dimensi yang lain. Para ‘pemabuk’ agama lebih memaknai Pancasila dalam frame atau kerangka keagamaan semata, misalnya disebutkan bahwa Pancasila itu mencerminkan ketuhanan dan ketuhanan (ketauhidan dalam persepsi kelompok ini) yang tertinggi di antara nilai-nilai yang lain. Jangan heran kemudian ketika draft Visi Pendidikan 2035 frasa agama hilang kalangan tersebut ramai memprotesnya. Tak ketinggalan pula ketika sekelompok orang ada pula yang lebih menekankan tafsir Pancasila pada dimensi kesejahteraan sosial saja, yang pada akhirnya lebih menekankan pada aspek material dan kerja semata.
Atas dasar itu kemudian dibangun infrastruktur bandara, pelabuhan, jalan tol secara masif, padahal terkadang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Interpretasi Pancasila pasca reformasi memang lebih fleksibel dan bahkan cenderung ‘liar’ karena tidak ada kerangka acuan pasti dan lembaga negara yang mengontrolnya. Kondisi ini memang cukup memberikan ruang kebebasan interpretasi yang produktif, asalkan terjadi diskursus yang matang di ruang publik tanpa harus mengklaim diri yang paling Pancasila sementara yang lain tidak.
Faktanya, perjumpaan interpretasi atau terjadinya horizon cakrawala para pembaca Pancasila belum sampai menghasilkan tafsiran Pancasila yang utuh tanpa mengunggulkan satu sila dan mengabaikan sila yang lainnya, dan sekaligus tafsiran yang praktik dan progresif. Tabik. (*)
(Penulis adalah Dosen Pancasila Pusat MPK Universitas Brawijaya*)