Kritisi RUU Polri, RUU TNI Dan RUU Kejaksaan, FHUB Gelar Diskusi Publik Bersama Koalisi Masyarakat Sipil

banner 468x60

Kampus UB | ADADIMALANG.COM – Mengambil tema ‘Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan (Kritik RUU POLRI, RUU TNI dan RUU Kejaksaan)’, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) bersama Koalisi Masyarakat Sipil menggelar kegiatan diskusi publik pagi ini, Jumat (28/02/2025).

Diskusi yang diikuti sekitar 100 orang peserta dari kalangan akademisi dan mahasiswa ini menghadirkan mantan Dekan FHUB yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor II Universitas Brawijaya Prof. Muchamad Ali Safa’at, Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang dan Ketua PBHI Julius Ibrani.

Bacaan Lainnya

Dimoderatori oleh dosen FH UB Milda Istiqomah, Ph.D., diskusi publik berjalan dengan hangat dan sarat informasi yang memicu diskusi berjalan dengan lebih meriah.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Assoc. Prof. Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., menyampaikan diskusi publik bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari pemberian masukan dan kritisi civitas akademika FH UB akan kondisi dinamika penegakan hukum khususnya dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah ramai menjadi bahan perbincangan saat ini.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Assoc. Prof. Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., saat memberikan sambutan dalam diskusi publik tersebut (Foto : Agus Y)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Assoc. Prof. Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., saat memberikan sambutan dalam diskusi publik tersebut (Foto : Agus Y)

“Sebagai insan hukum kita harus memberikan masukan dalam bentuk kritisi yang objektif terkait RUU KUHAP, kemudian yang kedua RUU Kejaksaan, dan yang ketiga RUU Kepolisian. Tiga RUU ini muaranya adalah di KUHAP, karena di KUHAP ini proses penegakan hukum mulai dari proses penyelidikan, proses penyidikan hingga ke proses persidangan ada di dalam RUU KUHAP ini,” jelas Aan Eko.

Bagaimana perkembangan yang ada dalam RUU KUHAP seperti penghapusan proses penyelidikan dan perluasan kewenangan penyidikan kepada Jaksa akan menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, akademisi dan juga aparat yang terkait.

“Kami berharap nanti DPR dan Presiden dalam membahas RUU ini betul-betul bisa memperhatikan perlindungan hak-hak masyarakat. Kemudian terkait efektivitas penegakan hukum jangan sampai tumpang tindih kewenangan yang dapat menimbulkan suatu lembaga memiliki kewenangan yang berlebihan hingga mengakibatkan abuse of power. Itu yang kita harapkan,” tegas Aan Eko.

Ditanya dari berbagai RUU yang tengah dibahas saat ini mana yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, menurut Aan RUU KUHAP seharusnya menjadi RUU yang perlu didahulukan sebelum membahas RUU lainnya sepertu RUU Polri, RUU TNI dan RUU Kejaksaan.

“Hal itu disebabkan di dalam RUU KUHAP tersebut terintegrasi seluruh komponen dalam penegakan hukum itu, dan setelahnya baru diderivasi ke RUU masing-masing lembaga sehingga tidak parsial nantinya. Jika RUU KUHAP menyesuaikan RUU masing-masing lembaga baik Polri maupun Kejaksaan nanti akan tambal sulang di RUU KUHAPnya,” tukas Dekan FH UB.

Ditemui di lokasi kegiatan, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) yakni Julius Ibrani menyampaikan dua poin utama terkait pentingnya pembahasan dalam diskusi publik di FH UB hari ini.

“Latar belakang ada dua hal yaitu yang pertama sekitar tahun 2023 lalu masyarakat sipil, rakyat, baru saja mengibarkan bendera putih kekalahan dalam pertarungan penyusunan rancangan Undang-Undang KUHP di mana isinya itu adalah overkriminalisasi yang artinya rakyat banyak akan dikriminalisasi, perbuatan-perbuatan baru yang sebelumnya bukan pidana dipidanakan, dan sebaliknya bisnis korporasi yang sebelumnya pidana justru didekriminalisasi atau tidak dipidanakan,”jelas Julius.

Latar belakang kedua menurut Julius adalah penambahan kewenangan-kewenangan aparat negara untuk mengkriminalisasi rakyat. Disebabkan RUU KUHP telah berhasil diselesaikan, maka negara menargetkan RUU KUHAP dapat diselesaikan pula di tahun 2025 ini.

“Ternyata over kriminalisasi, over kewenangan dari lembaga-lembaga negara itu ternyata in line, secara bersamaan ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang KUHP yang baru. Munculnya RUU TNI, RUU Polri dan RUU Kejaksaan ternyata mengelaborasi penambahan kewenangan, mengelaborasi penyempitan ruang-ruang keadilan bagi masyarakat menambahkan hal-hal yang berada di luar criminal justice system secara terintegrasi di dalam kewenangan aparat regah hukum. Misalnya militer yang masuk kepada ranah sipil dalam penegakan hukum lalu dilabeli kewenangan penyadapan dan intelijen di dalam ruang sipil, juga pemberian penambahan-penambahan kewenangan kepada jaksa selaku prosecutor, selaku state advocate atau general advocate dengan ruang-ruang penyadapan, ruang-ruang prakondisi perhatian terhadap masyarakat dan segala macamnya,” ungkap Julius.

Kritikan keras juga disampaikan Mantan Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang yang mempertanyakan mengapa UU yang ada harus dirubah dengan RUU yang baru.

“Apa yang salah dengan UU yang sudah berjalan saat ini? Kenapa mesti diubah? Jika dengan memperluas kewenangan itu apakah akan menjadi lebih baik bagi negeri ini? Dimana saat ini kepercayaan kepada negara rendah dan banyak masalah di berbagai institusi negara. Apakah aturan dan pengawasan aparatur kita menjalankan aturan sudah dijalankan sehingga kita perlu merubah aturannya,” tegas Saut Situmorang menjawab pertanyaan wartawan.

Dengan memberikan kewenangan lebih ataunperluasan kewenangan menurut Saut justru jauh lebih beresiko daripada memperkuat pengawasan aparat untuk menegakkan aturan sebaik mungkin.

Mantan Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang memberikan keterangan kepada wartawan (Foto : Agus Y)
Mantan Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang memberikan keterangan kepada wartawan (Foto : Agus Y)

“Jadi sebenarnya kewenangan yang ada jika dilakukan dengan baik itu sudah cukup, karena memperluas kewenangan itu berisiko atau yang kita sebut dengan Government Risk Compliance (GRC). Undang-undang yang ada itu dipatuhi atau tidak,? Apakah ada jaminan jika kewenangan diperluas maka kepatuhannya akan jadi lebih baik?,” pungkas Saut Situmorang. (A.Y)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60