Kota Malang | ADADIMALANG.COM – Menyikapi berbagai dinamika dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemangku kebijakan khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia, Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB) menyampaikan keprihatinan yang mendalam dengan menggelar Aksi Terbuka Bersuara Untuk Masa Depan Pendidikan Kedokteran.
Para Dewan guru Besar FK UB menilai bahwa sejumlah kebijakan terkait pendidikan kedokteran yang telah diambil berpotensi melemahkan mutu profesionalisme serta kemandirian institusi pendidikan kedokteran.
Dalam kegiatan yang bertajuk ‘Suara Keprihatinan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya’ tersebut, salah satu guru Besar FK UB yakni Prof. Dr. dr. Handono Kalim, Sp.PD-KR., membacakan maklumat bahwasanya pendidikan kedokteran harus dijaga independensi akademik dan profesionalnya dari intervensi berbagai kepentingan.
“Sebagai anak bangsa yang peduli terhadap keberlangsungan dan kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia, kami dari Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya memberikan pernyataan sikap terkait dengan berbagai kebijakan dan dinamika yang muncul sebagai dampaknya,” ungkap Prof. Handono Kalim.
Pernyataan sikap Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawjaya antara lain :
- Menuntut pemulihan fungsi kolegium kedokteran sebagai lembaga independen yang berperan penting dalam menjaga dan menjamin mutu pendidikan kedokteran di Indonesia. Fungsi ini harus mencakup penetapan standar kompetensi, kurikulum pendidikan, dan sistem evaluasi yang berbasis keilmuan serta profesionalisme, tanpa adanya intervensi kepentingan di luar akademik.
- Mendesak adanya kemitraan yang sinergis dan sejajar antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Kolegium, Rumah Sakit Pendidikan, dan Institusi Pendidikan Kedokteran. Kolaborasi yang sehat ini mutlak diperlukan guna menjaga integritas dan kualitas pendidikan kedokteran dalam memenuhi kebutuhan layanan kesehatan masyarakat yang bermutu.
- Menegaskan pentingnya mempertahankan marwah dan kemandirian Perguruan Tinggi sebagai penyelenggara pendidikan kedokteran. Otonomi akademik, etika keilmuan, serta independensi hukum dan kebijakan pendidikan harus dijaga dan dihormati sebagai pondasi dari institusi pendidikan yang bermartabat.
- Mendukung perbaikan tata kelola pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan di Indonesia secara menyeluruh dengan menjunjung tinggi prinsip keilmuan, integritas, transparansi, dan keadilan. Setiap langkah kebijakan yang diambil harus berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan dan perlindungan terhadap masyarakat termasuk sivitas akademika dan tenaga kesehatan.
Pernyataan sikap yang diambil oleh Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya tersebut disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional terhadap keberlangsungan dan kemajuan pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Kami berharap pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dapat mendengarkan dan menindaklanjuti aspirasi ini secara arif dan bijaksana,” ungkap Prof. Handono Kalim.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Prof. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med, Sp.A(K)., mengawali acara aksi terbuka tersebut juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap kebijakan terbaru yang dinilai bisa meruntuhkan standar pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2023 yang merombak struktur kelembagaan kolegium kedokteran telah mengubah arah masa depan profesi kedokteran di tanah air dimana salah satu perubahan krusial yang diatur di dalamnya adalah pemindahan kolegium dari bawah naungan organisasi profesi ke dalam Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” ungkap Prof. Wisnu.
Kebijakan tersebut menurut Wisnu dapat menghapus independensi kolegium kedokteran karena pemilihan anggota kolegium yang kini berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru mengurangi kapasitas kolegium dalam menjaga standar kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Di dalam Undang-Undang Kesehatan No. 13 tahun 2003, seharusnya kolegium dijalankan oleh kelompok ahli yang diusulkan oleh perhimpunan profesi, bukan oleh lembaga yang terlibat langsung dalam kebijakan kesehatan. Jika peran kolegium dilemahkan, maka kualitas pendidikan kedokteran akan semakin terdegradasi,” ungkap Prof. Barlianto.
Bahkan masalah akan dapat semakin rumit menurut Prof. Wisnu saat kebijakan Pendidikan Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Education) diterapkan secara luas karena akan memunculkan risiko terhadap kualitas pendidikan yang dihasilkan karena rumah sakit yang tidak memiliki standar yang memadai akan kesulitan untuk menjadi tempat pendidikan yang memenuhi kualitas yang diharapkan.
“Meskipun tujuannya mulia untuk meningkatkan jumlah tenaga medis di Indonesia, namun untuk menghasilkan dokter yang kompeten, dibutuhkan waktu, fasilitas yang memadai, serta standar pengajaran yang tinggi yang saat ini belum bisa dipenuhi oleh banyak rumah sakit di Indonesia,” ujar Prof. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med, Sp.A(K). (A.Y)