Kota Malang – Sebagai salah satu cara agar kampus Universitas Brawijaya dikenal di dunia internasional, Rektor Universitas Brawijaya M. Bisri menyatakan menerapkan cara 3 in 1 (three in one) yaitu memberikan tiga model dosen pengajar untuk mengajar mahasiswa. Tiga dosen yang akan mengajar tersebut adalah dosen dari akademisi di Universitas Brawijaya, dosen dari kalangan praktisi dan juga dosen dari negara lain. Salah satu dosen dari negara lain yang telah mengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya adalah Tim Connor yang merupakan peneliti dan dosen dari Newcastle University.
Tim Connor kali ini dihadirkan sebagai pemateri dalam acara Bincang dan Obrolan santai (Bonsai) Universitas Brawijaya yang reguler dilaksanakan oleh Sub Bagian Kearsipan dan Hubungan masyarakat Universitas Brawijaya.
Tim Connor yang merupakan pakar dalam bidang perburuhan ini membawakan materi dengan tema ‘Perspektif Hukum Perburuhan dan Perusahaan Menghadapi Tantangan Global’, dimana disampaikan bahwa dalam lima tahun terakhir dirinya melakukan penelitian tentang hukum perburuhan dan perusahaan transnasional di India dan Indonesia.
Menurut Connor, kebijakan ekonomi neo liberal yang berlangsung selama 40 tahun menurutnya telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan pekerjaan, namun juga menimbulkan kesenjangan seperti jumlah total kekayaan delapan orang terkaya dunia yang setara dengan total kekayaan 3.6 milyar orang miskin, yang merupakan separuh dari total populasi dunia.
“Hukum perusahaan yang tidak singkron dengan hukum perburuhan yang berlaku di suatu negara memerlukan reformasi pada kedua produk hukum tersebut seperti perlunya perlindungan yang lebih kuat dalam hak kebebasan berserikat, besaran upah minimum yang lebih tinggi dan penegakannya yang lebih efektif serta pendefinisian yang jelas tentang buruh,” ujar Connor.
Sementara itu di lokasi yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, M. Hamidi Masykur menyampaikan bahwa reformasi Undang-Undang Perburuhan di Indonesia telah dilakukan sekitar 14 kali dan dinilai telah mengakomodir hak pekerja seperti Upah Minimum Regional, jaminan hari tua, dan asuransi meskipun dalam pelaksanaannya membutuhkan pengawasan.
“Keberadaan perusahaan memang mampu meningkatkan pendapatan per kapita suatu daerah sehingga suatau kawasan yang mampu menarik investasi lebih banyak dan memiliki perusahaan lebih banyak biasanya akan memiliki UMR lebih tinggi,” ujar Hamidi.
Tim Connor juga berharap perusahaan tidak hanya berpikir tentang keuntungan yang didapatkannya saja , tetapi juga harus mulai ikut bertanggung jawab dalam memperhatikan tenaga paruh waktu (outsourching) yang dipekerjakan di perusahaannya.
“Tidak berarti karena menggunakan tenaga outsourching dari suatu perusahaan lain, maka perusahaan tersebut tidak ada ikatan hubungan insutrial. Mereka tetap harus memperhatikan hak-hak para pekerja dan Hak Asasi Manusiapara pekerja,” ungkap Tim Connor melalui penerjemahnya.
Saat ditanya tentang kondisi perburuhan di Indonesia dengan negara lain, Tim Connor menyatakan permasalahan perburuhan di Indonesia hampir sama dengan permasalahan perburuhan yang terjadi secara global di seluruh dunia seperti eksploitasi, tidak terjaminnya hak-hak pekerja, upah yang murah, hingga kebebasan berserikat para pekerja.
Connor mencontohkan kondisi di Australia, dimana permasalahan perburuhan juga ditekan untuk segera diselesaikan melalui cara online dengan membuat group di internet bernama Get Up yang memang concern dan mampu menekan pemerintah untuk segera mengambil tindakan terhadap permasalahan perburuhan yang ada. Komunitas online Get Up tersebut saat ini sudah memiliki anggota mencapai 300 ribu orang, dimana hal ini diakui lebih efektif daripada aksi unjukrasa yang dinilai hanya bersifat lokalitas saja.
“Perlu inisiatif dan peran serta semua pihak seperti pemerintah, perusahaan, pekerja, serikat pekerja dan semua pihak yang terkait untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan yang ada. Karena permasalahan perburuhan itu sangatlah komplek,” pungkas Tim Connor. (A.Y)