Oleh : Akhmad Muwafik Saleh
Sejak awal Allah SWT dalam menetapkan kewajiban puasa juga telah menetapkan indikator keberhasilannya, yaitu agar kita bisa mrncapai derajat taqwa.
Bahkan setiap jumat seorang khatib wajib menyampaikan wasiat taqwa dalam awal khutbahnya sebagai rukun dalam khutbah jumat, sebagaimana pula Rasulullah saw menjadikan wasiat taqwa ini sebagai muqaddimah dalam setiap khutbahnya.
Mengapa taqwa selalu menjadi indikator keberhasilan dalam setiap amaliyah dari agama ini bahkan Allah menyatakan bahwa yang menjadi pembeda derajat seseorang di sisi Allah SWT adalah nilai ketaqwaannya?.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS.Al-Hujurat, Ayat 13)”
Jawabannya karena taqwa adalah puncak hasil keimanan seseorang. Lalu apakah yang dimaksud taqwa itu? . Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan” (Dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal 531).
Sementara Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dengan “Menta’ati perintah dan laranganNya”. (Dalam Tahriru AlFazhil Tanbih, hal 322).
Secara lebih detail, Sayyidina Ali ra menjabarkan tentang makna taqwa dengan segala ciri-cirinya, antara lain : pertama, Al-Khaufu minal-Jalil, yakni merasa takut kepada Allah swt yang mempunyai sifat Maha Agung. Kedua, Al-‘Amalu bi At-Tanzil, beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah swt. Dan ciri ketiga, Ar-Ridha bil-Qalil, merasa cukup dan ridha dengan pemberian Allah swt, meskipun hanya sedikit. keempat, Al-Isti`dadu li Yaumir-Rahil, yaitu sentiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah.
Intinya, taqwa adalah wujud ketaatan kepada Allah atas segala perintah dan larangannya. Karena tidak ada amal terbaik bagi seorang hamba kecuali ketaatan ini. Ketaatan adalah bentuk cinta dan loyalitas atas apa yang dicintai. Sementara pelanggaran atas perintah adalah bentuk pengkhianatan cinta.
Taqwa sebagai puncak paripurna kemanusiaan yang ditandai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi atas beragam pola hubungan yang melingkupi kehidupan manusia, serta rasa cinta kasih sayang yang melandasi seluruh amaliyah perbuatan dalam semua pola hubungan tersebut. Sehingga seorang yang bertaqwa maka dalam dirinya selalu bersemayam dua sikap utama ini, yaitu bertanggung jawab & kasih sayang. Sikap bertanggungjawab adalah puncak dari kesadaran atas pengetahuan dan pemahamannya terhadap posisi, tugas serta peran dirinya dalam beragam pola hubungan.
Sementara kasih sayang adalah landasan sebuah tindakan yang memungkinkan setiap individu dapat mewujudkannya dengan penuh keikhlasan, sukarela tanpa ada beban apapun bahkan menjalaninya dengan penuh bahagia. sebagai wujud cinta atas Sang Pemberi Perintah (asy syaari’).
Terdapat Empat pola hubungan yang melingkupi kehidupan manusia antara lain : transendental, diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar.
Sikap taqwa berada pada keempat pola hubungan tersebut. Indikator sikap taqwa pada masing-masing pola hubungan tersebut dapat berupa :
- Hubungan transendental, sikap tanggungjawab diwujudkan dalam bentuk keyakinan yang utuh bahwa segala tindakan sedang diawasi oleh Allah SWT (muraqabah) sehingga berupaya menjalani dengan cara terbaik. Khusyuk, sungguh-sungguh, terbaik dan ikhlas. Seorang yang bertaqwa tentu semakin kuat ibadah dan taqarrubnya kepada Allah SWT. Serta mencintai Allah SWT dengan menghadirkan loyalitas tertinggi (al wala’) berupa ketaatan dan menjauhi segala bentuk pengkhianatan dan pelanggaran atas aturan perintahNya.
- Terhadap diri sendiri, ia bertanggungjawab penuh berupa mengoptimalkan potensi dirinya secara maksimal dengan menghasilkan karya-karya prestatif sebagai bentuk rasa syukur yang tertinggi atas amanah potensi tersebut. Serta mencintai dirinya dengan menjaga diri dari segala hal yang dilarang dan mengerjakan segala perintahNya. Seperti menutup aurat, makan yang halal thayyib, bersih dan selalu bersuci. membagi waktu secara proporsional atas dasar ibadah ketaatan, dan segala bentuk lainnya yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri.
- Wujud taqwa dalam hubungannya dengan orang lain berupa sikap dirinya yang dapat dirasakanya nyaman bagi orang lain, menjauhkan dari prasangka negatif dan melandasinya dengan kepercayaan, selalu berupaya untuk memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagi orang lainnya, orang lain terselamatkan dari lisan dan tangannya (menjauhi ghibah, fitnah, tajassus kepo dsb). Penuh penerimaan atas orang lain, senyum yang selalu merekah / sumringah, peduli atas kebutuhan orang lain. Intinya dirinya bagi orang lain hanyalah berisi kebaikan dan penerimaan.
- Dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar, keberadaanya mampu menjaga dan mengelola keberlangsungan dan keseimbangan lingkungan dengan sangat baik (sustainable development goals), sehingga dunia flora dan fauna dan semua makhluk hidup menjadi nyaman berkembang disekitar karena manusia yang bertaqwa peduli terhadap sekitar dengan penuh tamggung jawab dan rasa kasih sayang.
Dampak yang akan diperoleh dari sikap takwa setidaknya dapat tampak pada dua realitas. Pertama terhadap Individu akan menjadi pribadi yang memiliki semangat untuk terus mengembangkan dirinya menjadi lebih baik serta nyaman dan menyenangkan bagi orang lain yang sangat diharapkan keberadaannya oleh orang lain. Kedua, dampak taqwa dalam kehidupan masyarakat maka akan mengundang keberkahan negeri sehingga menjadi negeri yang aman tentram sentausa sejahtera. Sebagaimana Firman Allah SWT :
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf, Ayat 96)”.
So, Apakah puasa yang kita lakukan dalam sekian tahun ini telah mampu mewujudkan pribadi yang bertaqwa dan telah mengantarkan pada keberkahan negeri..?? Wallahu a’lam. (*)
—————————-
* Penulis merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Tanwir Al Afkar Tlogomas Malang ; Dosen FISIP UB, Sekretaris KDK MUI Propinsi Jawa Timur, Motivator Nasional Bidang Komunikasi Pelayanan Publik, Penulis 16 Buku Best Seller