MALANG, ADADIMALANG.COM – DPRD Kota Malang menyoroti struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 yang dianggap kurang sehat. Hal ini disebabkan porsi belanja pegawai mencapai 37 persen dari total APBD, jauh melampaui ambang batas ideal.

Ketua Fraksi NasDem-PSI DPRD Kota Malang, Dito Arief Nurakhmadi, menyebut hampir seluruh fraksi menilai belanja pegawai sudah melewati batas wajar, karena idealnya tidak lebih dari 30 persen. “Isu ini bukan hanya perhatian fraksi kami, semua fraksi juga mengingatkan soal belanja pegawai yang porsinya sudah di atas 30 persen,” kata Dito.

Dito menambahkan, meskipun aturan mandatory spending baru efektif berlaku 2027, Pemkot Malang seharusnya sudah melakukan penyesuaian lebih awal. Hal ini penting agar tidak terjadi guncangan besar pada postur APBD di tahun-tahun berikutnya. “2025 dan 2026 adalah periode yang menentukan, karena jadi masa transisi untuk menekan belanja pegawai agar sesuai aturan. Kalau dibiarkan, nanti akan sulit menyesuaikan,” jelasnya.

Berdasarkan hasil pembahasan, DPRD memperkirakan alokasi belanja pegawai tahun ini mencapai sekitar Rp900 miliar dari total APBD sebesar Rp2,4 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 37 persen. “Kalau dilihat, tahun 2024 belanja pegawai masih sekitar Rp1,1 triliun. Memang turun di 2025 jadi sekitar Rp900 miliar, tapi persentasenya tetap terlalu besar,” ungkapnya.

Dito menilai komposisi anggaran seperti ini bisa memberatkan fiskal daerah. Apalagi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang masih belum cukup besar untuk menutup beban tersebut. “Kalau beban pegawai makin tinggi, otomatis PAD juga harus ikut naik. Pemkot perlu kerja keras meningkatkan kemandirian fiskal,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang itu menjelaskan, pembengkakan belanja pegawai dipicu bukan hanya gaji, tapi juga berbagai tunjangan, termasuk tambahan akibat pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meski anggaran untuk pegawai sudah sangat besar, DPRD masih menemukan banyak masalah dalam pelayanan publik. Dito mencontohkan keterbatasan jumlah pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) di Kota Malang yang hanya satu orang untuk seluruh wilayah.

“Coba bayangkan, hanya satu PPLH yang harus mengurus dokumen lingkungan sekaligus mengawasi pelanggaran di seluruh kota. Ini jelas soal distribusi ASN yang belum merata,” tutupnya.