Fermentasi Sampah Sehari-hari Menjadi Cairan Anti Bakteri
Oleh: Sayyidatul Awalia Nuzula, S.Si
Mendampingi siswa yang kreatif dan memiliki pemikiran kritis menjadi tantangan tersendiri. Jeda umur antara saya dan siswa boleh jadi tidak sampai sewindu, tapi pemikiran mereka ternyata sudah sangat jauh. Pengalaman ini saya dapatkan ketika membimbing kelompok siswa untuk meneliti sebuah produk hasil karya mengolah sampah dapur. Eco Enzyme, saya awalnya awam dengan kata ini. Mereka mau buat apa ya? Pikiran saya mengira mereka membuat produk ini hanya sebagai formalitas agar tuntas mata pelajaran Project Based Learning (PJBL). Sebagai laboran, tentu saya kurang hafal dengan siswa baik dari nama maupun karakter. Ya mau bagaimana, pertemuan kami memang hanya terbatas saat praktikum saja. Apalagi, mereka meminta saya untuk membimbing proyek ini saat baru masuk pertemuan tatap muka.
Okelah, saya rasa tidak ada rasa penasaran yang akan gugur sia-sia. Sore itu, saya menerima lamaran Nastiti, Laila, Wanda dan Maysha untuk membimbing penelitian mereka. Sebelum melangkah ke penelitian, mereka sudah terlebih dahulu di bimbing oleh wali kelas mulai dari tema hingga konsep ide. Wali kelas menyarankan kepada kelompok eco enzyme ini untuk meminta bimbingan saya dalam hal penelitian.
Sekolah kami, SMA Islam Sabilillah Malang merupakan sekolah dengan sistem boarding. Siswa hidup menetap di lingkungan sekolah setiap hari selama 24 jam. Kebutuhan pokok seperti makan pun mereka lakukan di sekolah. Setiap selesai makan pasti akan ada limbah organik dan terbuang begitu saja. Salah satu sampah yang disoroti oleh Nastiti dan kawan-kawan adalah sampah kulit jeruk. Kulit jeruk biasanya dibuang dalam kondisi yang masih baik. Kulit jeruk memang sudah tidak dapat dimanfaatkan dengan cara dikonsumsi, sehingga mereka memutar otak untuk memanfaatkannya dengan menambah nilai dari limbah kulit jeruk tersebut. Mereka memanfaatkan bioteknologi untuk menyulap kulit jeruk menjadi eco enzyme.
Nastiti, ketua kelompok yang diberi nama “Gent Etranges” menceritakan kepada saya tentang apa itu eco enzyme. Ternyata, eco enzyme adalah hasil fermentasi dari sampah dapur yang ditambah dengan air dan gula. Limbah yang digunakan untuk eco enzyme adalah limbah yang masih baik dan tidak busuk. Eco enzyme ini dikembangkan oleh ilmuwan Thailand yaitu Dr. Rosukon Poompanvong, pendiri dari Organic Agriculture Association Thailand. Banyak sekali manfaat dari eco enzyme diantaranya pembersih berbagai macam benda, pupuk tanaman, dan pemberantas hama.
Ecoenzyme saya rasa menjadi penelitian yang cukup murah meriah dan mudah bagi siswa jenjang SMA. Bahan-bahan yang digunakan kelompok ini adalah kulit jeruk, cairan ampas tebu dan ragi untuk mempercepat proses fermentasi. Ampas tebu dipilih karena termasuk limbah dan mengurangi biaya produksi. Proyek ini lumayan dikejar waktu, sehingga ragi digunakan untuk mempercepat proses fermentasi dari yang awalnya 3 bulan menjadi 6 hari. Penelitian ini hanya dalam skala kecil, mereka hanya membuat eco enzyme sebanyak 1 botol air mineral ukuran 600 ml. Hasil dari cairan eco enzyme buatan Nastiti dkk memiliki warna kuning keruh dan ternyata memiliki aroma harum dan segar.
Tidak puas dari klaim manfaat di internet, kelompok ini mengajukan untuk melakukan uji antibakteri. Kebetulan mereka fokus pada manfaat eco enzyme sebagai pembersih. Saya bimbing mereka untuk melakukan uji antibakteri. Meskipun penelitian ini tidak sempurna seperti uji antibakteri yang dilakukan di laboratorium semasa saya kuliah karena terbatasnya alat di laboratorium sekolah. Saya cukup salut dengan daya tangkap dan keinginan kuat dari kelompok ini untuk mendapatkan hasil.
Uji antibakteri yang kami lakukan adalah uji daya hambat dengan media Nutrient Agar. Sekali lagi saya disclaimer bahwa peralatan yang kami gunakan seadanya dan hanya untuk menjawab rasa penasaran terhadap manfaat eco enzyme. Prosedur dimulai dari memasak Nutrient Agar. Setelah Agar mengeras di cawan petri, mereka menswab beberapa titik di laboratorium yang kami rasa kotor seperti lantai, kaca dan rak sepatu. Swab dilakukan menggunakan cotton bud. Cotton bud tersebut kemudian dioleskan merata di permukaan Nutrient Agar. Sebagai penghambat pertumbuhan bakteri, kertas saring berbentuk lingkaran yang telah direndam hingga basah pada eco enzyme diletakkan pada tengah-tengah cawan. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan hasil, hanya dalam waktu 24 jam ternyata terlihat bahwa terdapat penghambatan pertumbuhan bakteri oleh eco enzyme. Bakteri tampak tumbuh merata di permukaan cawan, namun hanya sedikit sekali bakteri yang tumbuh di dekat kertas saring. Produk yang diberi nama “Miracle liquid” ini sudah dipamerkan pada Assembly PJBL Bulan Desember 2021. Bukan hanya produk saja, tetapi penelitian ini pun di tuliskan dalam poster ilmiah.
Pengalaman ini menjadi pengalaman pertama saya untuk membimbing penelitian siswa di laboratorium secara langsung. Untuk ukuran siswa kelas X yang masih belum mendapatkan materi bioteknologi terutama fermentasi, kelompok ini cukup cepat tanggap dan antusias untuk meneliti. Rasa penasaran memang harus dijawab. Tidak ada untung dan rugi di dalam penelitian. Semua hasil yang didapat, baik gagal maupun berhasil akan menjadi pengalaman bagi peneliti. Tidak ada menang jadi arang kalah jadi abu dalam menyikapi hasil penelitian. Kami berharap bahwa penelitian ini dapat disebarluaskan dan menjadi inspirasi untuk pengolahan limbah lebih lanjut. (*)
* Penulis adalah seorang Laboran SMA Islam Sabilillah Malang Boarding School.