Bahas masukan dari para pakar hukum terkait dengan perlu tidaknya amandemen UUD 1945.
ADADIMALANG – Dengan tujuan untuk mendengarkan dan mendapat masukan dari para akademisi, Badan Pengkajian Majelis Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Kota Malang hari ini, Rabu (20/06/2023).
Dalam kegiatan yang digelar di Hotel Shantika Kota Malang ini menghadirkan beberapa Pakar Hukum Konstitusi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), termasuk yang tergabung dalam PP Otoda FH UB.
“Jadi kami dari Badan Pengkajian MPR RI mengadakan FGD dengan para ahli hukum konstitusi dari FH UB tentang kemungkinan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,” ungkap Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Benny K. Harman.
Pertimbangan perlu tidaknya amandemen UUD 1945 tersebut menurut Benny disebabkan konstitusi tersebut telah berusia lebih dari 20 tahun sejak reformasi bergulir.
“Selain itu amandemen perlu dilakukan untuk mengantisipasi hal atau kondisi-kondisi yang memang tidak atau belum diantisipasi misalkan kondisi pandemi Covid-19 yang lalu dan beberapa hal lainnya,” ujar Benny.
Terkait dengan FGD yang dilakukan, Benny mengaku mendapat banyak masukan dari para pakar hukum FH UB mengenai pentingnya dilakukan assessment, evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945. Hal tersebut perlu dilakukan sebab telah ditemukan sejumlah masalah di tingkat implementasi dimana masalah tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat level peraturan perundang-undangan tetapi harus dengan mengamandemen UUD 1945.
“Jadi perubahan itu adalah sebuah keniscayaan supaya substansi, isi konstitusi benar-benar menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi ke mana negara ini mau dibawa ke depan dapat kita lihat di dalam isi konstitusi, isi UUD 1945 yang kita miliki sekarang,” ujar politikus partai Demokrat ini.
Ditanya urgenitasnya kebijakan untuk melakukan amandemen UUD 1945 tersebut, Benny menjelaskan bahwa berdasarkan masukan dari para pakar hukum konstitusi FH UB saat FGD diketahui proses amandemen UUD 1945 sudah sangat urgent dilakukan.
“Kalau teman-teman pakar hukum dari Universitas Brawijaya tadi memberikan masukan amandemen itu sudah sangat urgent untuk dilakukan terutama untuk berkonsolidasi kewenangan dan untuk mencegah adanya tumpang tindih kewenangan serta untuk menjamin kesinambungan program-program yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan. Selain itu perlu untuk mengantisipasi berbagai situasi kondisi yang tidak pernah diantisipasi sebelumnya seperti Pandemi Covid-19 itu semua harus diwadahi dalam UUD 1945 hasil amandemen yang akan datang jika itu dilakukan,” ungkap Benny.
Sementara itu anggota Badan Pengkajian MPR RI yang juga hadir di Kota Malang, Andreas Hugo Pareira mengapresiasi banyaknya masukan dario para pakar hukum konstitusi FH UB.
“Kalau saya bilang tadi kita mintanya sedikit ternyata dapat masukannya banyak sekali, dimana kami dari kelompok 3 Badan Pengkajian ini ditugaskan untuk melakukan evaluasi dan mendengarkan aspirasi berbagai macam kelompok masyarakat termasuk para akademisi berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan MPR RI. Oleh karena itu kami hari ini melakukan FGD, salah satunya dengan para akademisi dari kampus FH UB,” ujar pria yang akrab disapa Hugo ini.
Ditanya materi FGD yang disampaikan para pakar hukum FH UB, Hugo menjelaskan pakar hukum dari FH UB banyak memberikan masukan tentang pentingnya amandemen UUD 1945.
“Intinya bagaimana amandemen itu melalui suatu proses audit konstitusi dan juga yang berkaitan dengan pokok-pokok haluan negara atau apapun namanya tapi yang jelas negara ini membutuhkan haluan negara sebagai guidance kebijakan-kebijakan yang sangat fundamental demi kepentingan keberlanjutan daripada kehidupan berbangsa dan bernegara ini,” ujar Hugo.
Lebih lanjut Hugo menyampaikan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah nasional (RPJMN) akan berakhir pada tahun 2025 dan saat ini juga tengah disusun RPJMN yang baru, dimana dalam sistem RPJMN tidak ada jaminan kelanjutannya dan tidak ada jaminan konektivitas antar pusat dan daerah.
“Seperti yang disampaikan oleh teman-teman dari PP Otoda FH UB itu kami sebagai anggota DPR juga tahu dan merasakan hal itu karena kami mengalami langsung di lapangan, bagaimana kebijakan pusat di daerah itu tidak connect. Bagaimana kebijakan di Pusat itu kalau tidak dijalankan di daerah juga tidak mengapa karena itu kan otonomi daerah. Hal-hal seperti itu yang diberikan masukan oleh teman-teman FH UB sehingga kita tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan amandemen menurut para pakar dari FH UB ini,” ujar Hugo.
Mengakhiri wawancara, Hugo menegaskan MPR RI juga memerlukan dukungan dari para akdemisi termasuk dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB).
“Kenapa saya bilang begitu? karena setiapkali MPR RI akan melakukan amandemen itu banyak sekali kritik seolah-olah itu kami lakukan untuk kepentingan MPR sendiri, padahal itu semua untuk keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan berbagai macam regulasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UUD 1945 ini,” pungkas Andreas Hugo Pareira. (A.Y)